Kamis, 09 Januari 2020

Pengerahan, Penindasan dan Perlawanan di Masa Penjajahan Jepang

Gadis Rantau
Pengerahan, Penindasan dan Perlawanan di Masa Penjajahan Jepang
Di balik senyum manis & propaganda yang menjanjikan, ternyata Jepang bertindak kejam. Jepang telah mengerahkan semua potensi & kekuatan yang ada untuk menopang perang yang sedang mereka hadapi untuk melawan Sekutu. Jepang juga menguras aset kekayaan yang dimiliki Indonesia untuk memenangkan perang & melanjutkan industri di negerinya.

Pada kesempatan kali ini kami akan mengulas mengenai kebijakan & tindakan Jepang dalam mengerahkan semua kekuatan yang ada di Indonesia & juga kekejaman Jepang dalam berbagai bentuk kerja paksa, serta kebijakan-kebijakan lain yang menyakitkan rakyat Indonesia.
1. Ekonomi Perang
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Perlu dipahami bahwa sebelum memasuki PD II, Jepang sudah berkembang menjadi negara industri & sekaligus menjadi kelompok negara imperialis di Asia. Oleh karena itu, Jepang melakukan berbagai upaya untuk memperluas wilayahnya. Sasaran utamanya antara lain Korea & Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Indonesia sangat menarik bagi Jepang.

Sebab Indonesia merupakan kepulauan yang begitu kaya akan berbagai hasil bumi, pertanian, tambang, & lain-lainnya. Kekayaan Indonesia tersebut sangat cocok untuk kepentingan industri Jepang. Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan produk-produk industrinya. Meletusnya PD II pada hakikatnya merupakan wujud konkret dari ambisi & semangat imperialisme masing-masing negara untuk memperluas daerah kekuasaannya.

Oleh sebab itu, pada saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat & melawan kekuatan Belanda. Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help. Hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia.

Kebijakan Jepang itu juga sering disebut dengan Ekonomi Perang. Untuk lebih jelasnya perlu dilihat bagaimana tindakantindakan Jepang dalam bidang ekonomi di Indonesia.

Pada waktu Jepang mendarat di Indonesia pada tahun 1942, ternyata tentara Hindia Belanda telah membumihanguskan objek-objek vital yang ada di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar Jepang mengalami kesulitan dalam upaya menguasai Indonesia. Akibat dari pembumihangusan itu, keadaan perekonomian di Indonesia menjadi lumpuh pada awal pendudukan Jepang.

Sehubungan dengan keadaan tersebut, langkah pertama yang diambil Jepang adalah melakukan pengawasan & perbaikan prasarana ekonomi. Beberapa prasarana seperti jembatan, alat transportasi, telekomunikasi, & bangunan-bangunan diperbaiki. Kemudian beberapa peraturan yang mendukung program pengawasan kegiatan ekonomi dikeluarkan termasuk ditetapkannya peraturan pengendalian kenaikan harga. Bagi mereka yang melanggar, akan dijatuhi hukuman berat.

Sementara itu, bidang perkebunan di masa Jepang mengalami kemunduran. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Jepang yang memutuskan hubungan dengan Eropa (yang merupakan pusat perdagangan dunia). Karena tidak perlu memperdagangkan hasil perkebunan yang laku di pasaran dunia, seperti tebu (gula), tembakau, teh, & kopi, maka Jepang tidak lagi mengembangkan jenis tanaman tersebut. Bahkan tanah-tanah perkebunan diganti menjadi tanah pertanian sesuai dengan kebutuhan Jepang.

Tanah-tanah itu diganti dengan tanaman padi untuk menghasilkan bahan makanan & bahan-bahan lain yang sangat dibutuhkan, misalnya jarak. Tanaman jarak waktu itu sangat dibutuhkan karena dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-mesin, termasuk mesin pesawat terbang. Tanaman kina juga sangat dibutuhkan, yakni untuk membuat obat antimalaria, sebab penyakit malaria sangat mengganggu & melemahkan kemampuan tempur para prajurit. Pabrik obat yang sudah ada di Bandung sejak zaman Belanda terus dihidupkan.

Tanaman tebu di Jawa juga mulai dikurangi. Pabrik-pabrik gula sebagian besar mulai ditutup. Penderesan getah karet di Sumatra mulai dihentikan. Tanaman-tanaman tembakau, teh, & kopi di berbagai tempat dikurangi. Oleh sebab itu, pada masa Jepang ini, hasil-hasil perkebunan sangat menurun. Produksi karet juga turun menjadi seperlimanya produksi tahun 1941. Pada tahun 1943 produksi teh turun menjadi sepertiganya dari zaman Hindia Belanda.

Beberapa pabrik tekstil juga mulai ditutup karena pengadaan kapas & benang begitu sulit. Dalam bidang transportasi, Jepang merasakan kekurangan kapal-kapal. Oleh sebab itu, Jepang terpaksa mengadakan industri kapal angkut dari kayu. Jepang juga membuka pabrik mesin, paku, kawat, & baja pelapis granat, tetapi semua usaha itu tidak berkembang lancar karena kekurangan suku cadang.

Kebutuhan pangan untuk menopang perang semakin meningkat, sehingga kegiatan penanaman untuk menghasilkan bahan pangan terus ditingkatkan. Dalam hal ini, organisasi Jawa Hokokai giat melakukan kampanye untuk meningkatkan usaha pengadaan pangan terutama beras & jagung. Tanah pertanian baru, bekas perkebunan dibuka untuk menambah produksi beras.

Di Sumatra Timur, daerah bekas perkebunan yang luasnya ribuan hektar ditanami kembali sehingga menjadi daerah pertanian baru. Di tanah Karo juga dibuka lahan pertanian baru dengan menggunakan tenaga para tawanan. Di Kalimantan dan Sulawesi juga dibuka tanah pertanian baru untuk menambah hasil beras. Untuk kepentingan penambahan lahan pertanian ini, Jepang melakukan penebangan hutan secara liar & besar-besaran.

Di Pulau Jawa dilakukan penebangan hutan secara liar sekitar 500.000 hektar. Penebangan hutan secara liar & berlebihan tersebut mengakibatkan hutan menjadi gundul, sehingga timbullah erosi & banjir pada musim penghujan. Penebangan hutan secara liar tersebut juga berdampak pada berkurangnya sumber mata air. Dengan demikian, sekalipun tanah pertanian semakin luas, namun kebutuhan pangan tetap tidak tercukupi. Keadaan ini semakin menambah beban bagi pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Untuk mengatasi keadaan ini kemudian pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
  • Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi, pungutan & penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan Pangan).
  • Penggiling & pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
  • Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang. Begitu juga padi harus diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Dalam hal ini, berlaku ketentuan hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%, kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk, & 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.
Dalam rangka mengendalikan kebijakan di bidang ekonomi, maka semua objek vital & alat-alat produksi dikuasai oleh Jepang & di bawah pengawasan yang sangat ketat. Pemerintah Jepang juga mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan. Perkebunan-perkebunan diawasi & dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak & diganti dengan tanaman yang sesuai untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu & membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya.

2. Pengendalian di Bidang Pendidikan & Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% & jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.

Para pelajar harus menghormati budaya & adat istiadat Jepang. Mereka juga harus melakukan kegiatan kerja bakti (kinrohosyi). Kegiatan kerja bakti itu meliputi, pengumpulan bahan-bahan untuk perang, penanaman bahan makanan, penanaman pohon jarak, perbaikan jalan, & pembersihan asrama. Para pelajar juga harus mengikuti kegiatan latihan jasmani & kemiliteran. Mereka harus benar-benar menjalankan semangat Jepang (Nippon Seishin). Para pelajar juga harus menyanyikan lagu Kimigayo, menghormati bendera Hinomaru & melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.

Akibat keputusan pemerintah Jepang tersebut, membuat angka buta huruf menjadi meningkat. Oleh sebab itu, pemuda Indonesia mengadakan program pemberantasan buta huruf yang dipelopori oleh Putera.Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran.Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah.Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kader-kader yang memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh sebab itu, sekolah selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.

3. Pengerahan Romusa
Berbagai kebijakan & tindakan Jepang seperti disebutkan di atas telah membuat penderitaan rakyat. Rakyat petani tidak dapat berbuat banyak kecuali harus tunduk kepada praktik-praktik tirani Jepang. Penderitaan rakyat ini semakin dirasakan dengan adanya kebijakan untuk pengerahan tenaga romusa.

Perlu diketahui bahwa untuk menopang Perang Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia.Tenaga kerja inilah yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka dipekerjakan di lingkungan terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap daerah.

Rakyat yang dijadikan romusa pada umumnya adalah rakyat yang bertenaga kasar. Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan tugas romusa secara sukarela, sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga. Sebab, rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara Jepang sehingga rakyat rela membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Oleh sebab itu, di beberapa kota pernah terdapat beberapa romusa yang sifatnya sementara & sukarela. Romusa sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja (tidak digaji) selama satu minggu di suatu tempat yang penting. Salah satu contoh ada rombongan dari Jakarta dipimpin oleh Sukarno. Para pekerja sukarela ini bekerja dalam suasana yang disebut “Pekan Perjuangan Mati-Matian”. Akan tetapi lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh kawasan Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela ini oleh pemerintah Jepang diubah menjadi sebuah keharusan & paksaan.

Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal peri kemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan & pelayanan yang cukup, padahal mereka melakukan pekerjaan kasar yang sangat memerlukan banyak asupan makanan dan istirahat. Mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.

Kemudian untuk menutupi kekejamannya & agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye & propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusa itu sebagai “Prajurit Ekonomi” / “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa, bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, & Malaya.
Sebagian besar dari mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.
Dampak dari kebijakan dan tindakan Jepang;Penderitaan rakyat tidak berkurang tetapi justru semakin bertambah. Kehidupan rakyat benar-benar menyedihkan. Bahan makanan sulit didapatkan karena banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar makin tumbuh sumbur, seperti di kota Surabaya, Jakarta, Bandung, & Semarang. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan / di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Akibatnya, barang-barang keperluan sulit didapatkan & semakin sedikit jumlahnya. Masyarakat hidup dalam kesulitan. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan. Penderitaan rakyat Indonesia semakin tidak tertahankan.
4. Perang Melawan Tirani Jepang
Jepang yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah menjadi kebencian. Rakyat bahkan lebih benci pada pemerintah Jepang daripada pemerintah Kolonial Belanda. Jepang seringkali bertindak sewenang-wenang. Rakyat tidak bersalah ditangkap, ditahan, & disiksa. Kekejaman itu dilakukan oleh kempetai (polisi militer Jepang). Pada masa pendudukan Jepang banyak gadis & perempuan Indonesia yang ditipu oleh Jepang dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat / disekolahkan, ternyata hanya dipaksa untuk melayani para kempetai. Para gadis & perempuan itu disekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita penghibur. Kamp-kamp itu dapat kita temukan di Solo, Semarang, Jakarta, & Sumatra Barat.

Kondisi itu menambah deretan penderitaan rakyat di bawah kendali penjajah Jepang. Oleh sebab itu, wajar kalau kemudian timbul berbagai perlawanan.
a. Aceh Angkat Senjata
Salah satu perlawanan terhadap Jepang di Aceh adalah perlawananan rakyat yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot Plieng, Provinsi Aceh. Karena melihat kekejaman & kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan.

Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang. Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat & para santri di sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai tindakan yang sangat membahayakan. Oleh sebab itu, Jepang berusaha membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada 10 November 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng.

Kemudian, pertempuran berlanjut hingga pada 24 November 1942, saat rakyat sedang menjalankan ibadah salat subuh. Karena diserang, maka rakyat- pun dengan sekuat tenaga melawan. Rakyat dengan bersenjatakan pedang & kelewang, bertahan bahkan dapat memukul mundur tentara Jepang. Serangan tentara Jepang diulang untuk yang kedua kalinya, namun dapat digagalkan oleh rakyat. Kekuatan Jepang semakin ditingkatkan.

Kemudian, Jepang melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya & berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam keadaan terdesak, Abdul Jalil & beberapa pengikutnya berhasil meloloskan diri ke Buloh Blang Ara. Beberapa hari kemudian, saat Abdul Jalil & pengikutnya sedang menjalankan sholat, mereka ditembaki oleh tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai pahlawan bangsa.

Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang & 150 orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya. Kebencian rakyat Aceh terhadap Jepang semakin meluas sehingga muncul perlawanan di Jangka Buyadi bawah pimpinan perwira Gyugun Abdul Hamid.

Dalam situasi perang yang meluas ke berbagai tempat, Jepang mencari cara yang efektif untuk menghentikan perlawanan Abdul Hamid. Jepang menangkap & menyandera semua anggota keluarga Abdul Hamid. Dengan berat hati akhirnya Abdul Hamid mengakhiri perlawanannya. Berikutnya perlawanan rakyat berkobar di Pandrah Kabupaten Bireuen. Perlawanan disebabkan oleh masalah penyetoran padi & pengerahan tenaga romusa. Kerja paksa yang diadakan Jepang terlalu memakan waktu pajang sehingga para petani hampir tidak memiliki kesempatan untuk menggarap sawah.

Di samping itu, Jepang menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang itu sangat merugikan rakyat. Dan yang memberatkan lagi, Jepang juga memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil panennya sebanyak 50 – 80%.

b. Perlawanan di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang rakyatnya dikenal sangat religius & memiliki jiwa patriotik. Rakyat Singaparna sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh sebab itu, rakyat Singaparna sangat benci terhadap pendudukan Jepang, apalagi ketika mengetahui perilaku pemerintahan Jepang yang sangat kejam. Kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan & ajaran Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang.

Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin menderita. Pengerahan tenaga romusa dengan paksa & di bawah ancaman ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat. Para romusa dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan padi & beras dengan aturan yang sangat menjerat & menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi di mana-mana.

Kemudian secara khusus rakyat Singaparna di bawah Kiai Zainal Mustafa menentang keras untuk melakukan seikeirei. Itulah sebabnya rakyat Singaparna mengangkat senjata melawan Jepang.
 Penindasan dan Perlawanan di Masa Penjajahan Jepang Pengerahan, Penindasan dan Perlawanan di Masa Penjajahan Jepang
Kiai Zainal Mustafa
Perlawanan meletus pada bulan Februari, 1944. Perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan di Sukamanah, Singaparna. Ia adalah pendiri Pesantren Sukamanah. Pendiri pesantren Sukamanah ini tidak mau kerja sama dengan Jepang. Ia sangat menentang kebijakan-kebijakan Jepang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Zainal Mustafa secara diam-diam telah membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh ajengan Najminudin.

Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran pada salah satu hari Jumat di bulan Februari 1944. Sebelum perang itu dimulai, ada beberapa utusan dari kepolisian Tasikmalaya & beberapa orang Indonesia yang ingin mengadakan perundingan dengan Zainal Mustafa. Namun, polisi Jepang itu dilucuti senjatanya & ditahan oleh pengikut Zainal Mustafa. Kemudian ada seorang polisi yang disuruh kembali ke Tasikmalaya untuk melaporkan yang baru saja terjadi & menyampaikan ultimatum dari Kiai Zainal Mustafa kepada pihak Jepang agar besok segera memerdekakan Jawa & jika tidak, maka akan terjadi pertempuran yang akan mengancam keselamatan orang-orang Jepang.

Hari berikutnya datang kembali rombongan utusan Jepang ke Sukamanah untuk mengadakan kembali perundingan dengan Zainal Mustafa, namun utusan Jepang itu bersikap congkak & sombong untuk menunjukkan bahwa Jepang memiliki kedudukan yang lebih tinggi & lebih kuat. Hal ini menyulut kemarahan pengikut Zainal Mustafa, sehingga utusan Jepang itu pun dilucuti senjatanya & ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang berhasil melarikan diri. Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai & 60. Orang polisi negara istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya & Garut.

Pertempuran terjadi lebih kurang satu jam di kampung Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan mempergunakan pedang & bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir. Zainal Mustafa dengan pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi gempuran dari pihak Jepang. Karena jumlah pasukan yang lebih besar & peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan Zainal Mustafa. Dalam pertempuran ini banyak berguguran para pejuang Indonesia. Kiai Zainal Mustafa ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke Jakarta.
Pada 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang & akhirnya meninggal.

c. Perlawanan di Indramayu
Perlawanan terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu. Latar belakang & sebab-sebab perlawanan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Singaparna. Para petani & rakyat Indramayu pada umumnya hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang. Tentu kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Begitu juga kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu, sehingga semakin membuat rakyat menderita.

Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener. Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian. Rakyat protes & melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat. Namun, sekali lagi rakyat tidak mampu melawan kekuatan Jepang yang didukung dengan tentara & peralatan yang lengkap. Rakyat telah menjadi korban dalam membela bumi tanah airnya.

d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat. Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Jawa & Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena himpitan penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang / suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, & sekitarnya.

Pang Suma & pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Mereka hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan & dengan memanfaatkan keuntungan alam rimba belantara, sungai, rawa, & daerah yang sulit ditempuh perlawanan berkobar dengan sengitnya. Namun, harus dipahami bahwa di kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih menyedihkan lagi, para mata-mata itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan, & pembunuhan, baik terhadap orang-orang yang dicurigai / bahkan terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang sering membuat perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah.

Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan juga.

e. Perlawanan Rakyat Irian
Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat di Papua. Mereka mendapat pukulan & penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian mereka melancarkan perlawanan terhadap Jepang. Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Biak merupakan pusat pergolakan untuk melawan pendudukan Jepang. Rakyat Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat.

Mereka juga tidak memiliki rasa takut. Padahal kalau ada rakyat yang tertangkap, Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan umum. Namun, rakyat Irian tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka melakukan taktik perang gerilya. Tampaknya, Jepang cukup kewalahan menghadapi keberanian & taktik gerilya orang-orang Irian. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh sebab itu, bisa dikatakan Pulau Biak ini adalah daerah bebas & merdeka yang pertama di Indonesia.

Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah seorang pemimpin perlawanan di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat lama bahkan sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yape Selatan mendapatkan bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yape Selatan untuk mengalahkan Jepang. Hal itu menunjukkan bagaimana keuletan rakyat Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.

f. Peta di Blitar Angkat Senjata
Penderiatan rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari pemerintah pendudukan Jepang yang memikirkan bagaimana hidup rakyat yang diperintahnya.Yang ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang & bagaimana mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan. Penderitaan demi penderitaan rakyat ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco Peta yang akhirnya tumbuh kesadaran nasionalnya untuk melawan Jepang.
 Penindasan dan Perlawanan di Masa Penjajahan Jepang Pengerahan, Penindasan dan Perlawanan di Masa Penjajahan Jepang
Daidan Peta di Blitar
Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang. Masalah pengumpulan hasil padi, pengerahan romusa, semua dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, sungguh kekejaman yang luar biasa. Hal semacam ini juga dirasakan Supriyadi & kawan-kawannya di lingkungan Peta. Mereka kerap menyaksikan sikap congkak & sombong dari para syidokan yang melatih mereka. Para pelatih Jepang sering merendahkan para prajurit bumiputera. Hal ini menambah rasa sakit hati & sekaligus rasa benci pasukan Supriyadi terhadap pemerintahan Jepang di Indonesia. Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota Peta di Blitar untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Rencana perlawanan itu tampaknya sudah bulat tinggal menunggu waktu yang tepat. Dalam perlawanan Peta itu, direncanakan akan melibatkan rakyat & beberapa kesatuan lain.

Apa pun yang terjadi, Supriyadi dengan teman-temannya sudah bertekad bulat untuk melancarkan serangan terhadap pihak Jepang. Pada 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, & granat dari daidan, lalu keluar dengan bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang Jepang. Pasukan Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank & pesawat udara. Mereka segera menghalau para anggota Peta yang mencoba melakuakn perlawanan. Tentara Jepang mulai menguasai keadaan & seluruh kota Blitar mulai dapat dikuasai. Pimpinan tentara Jepang kemudian menyerukan kepada segenap anggota Peta yang melakukan serangan, agar segera kembali ke induk kesatuan masing-masing.

Beberapa kesatuan mulai memenuhi perintah pimpinan tentara Jepang itu. Namun mereka yang kembali ke induk pasukannya memenuhi panggilan justru ditangkapi, ditahan, & disiksa oleh polisi Jepang. Selanjutnya diserukan kepada anak buah Supriyadi agar menyerah & kembali ke induk pasukannya.Kurang lebih setengah dari batalion Supriyadi memenuhi panggilan tersebut.Namun, pasukan yang lain tidak ingin kembali & tetap setia melakukan perlawanan Peta yang dipimpin oleh Supriyadi.

Mereka yang tetap melakukan perlawanan itu antara lain peleton pimpinan Shodanco, Supriyadi, & Muradi. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi & Distrik Pare.

Untuk menghadapi perlawanan Peta di bawah pimpinan Supriyadi, Jepang mengerahkan semua pasukannya & mulai memblokir serta mengepung pertahanan pasukan Peta tersebut. Namun, pasukan Supriyadi tetap bertahan. Mengingat semangat, tekad, & keuletan pasukan Supriyadi & Muradi itu, maka Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri pura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut, penuh kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah memuncak panas itu bisa membalik menjadi dingin kembali. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka.

Para pemuda Peta yang melancarkan serangan bersedia kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa segala sesuatu akan dianggap soal interen daidan, & akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Mereka akan diterima kembali & tidak akan dibawa ke depan pengadilan militer.

Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke daidan. Di sini sudah berderet barisan para perwira di bawah pimpinan Daidanco Surahmad. Sejenak kemudian Shodanco Muradi maju, lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa pasukannya telah kembali. Mereka juga menyatakan menyesal atas perbuatan melawan Jepang & berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya & ditawan, diangkut ke Markas Kempetai Blitar.

Tidak terlalu lama akhirnya perlawanan Peta di Blitar di bawah pimpinan Supriyadi ini dapat dipadamkan. Tokoh-tokoh & anggota Peta yang ditangkap kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. 

Setelah melalui beberapa kali persidangan, mereka kemudian dijatuhi hukuman sesuai dengan peranan masing-masing dalam perlawanan itu. Ada yang mendapat pidana mati, ada yang seumur hidup, & sebagainya. Mereka yang dipidana mati antara lain, dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mangkudijoyo, Sunanto, & Sudarno. Sementara itu, Supriyadi tidak jelas beritanya & tidak disebut-sebut dalam pengadilan itu.

Simpulan;
  • Jepang telah melakukan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Indonesia. Salah satunya kebijakan Ekonomi Perang, produk ekonomi yang semua diperuntukkan pemenangan Perang Asia Timur Raya.
  • Pengendalian pendidikan & kebudayaan yang berdampak pada kemunduran bidang ekonomi, rakyat menjadi bodoh & banyak buta huruf. Bidang seni & budaya juga diawasi.
Demikianlah ulasan mengenai Pengerahan, Penindasan & Perlawanan di Masa Penjajahan Jepang, yang pada kesempatan ini, dapat dibahas disini. Semoga ulasan di atas bermanfaat bagi para pengunjung & pembaca. Cukup sekian kurang/lebihnya mohon maaf & sampai jumpa!!!
*Rajinlah belajar, demi Bangsa & Negaramu serta jaga kesehatanmu!!! Semoga anda sukses!!!