Senin, 27 April 2020

Perlawanan Rakyat Tondano Terhadap Belanda

Gadis Rantau
Perang Tondano merupakan perang yang terjadi pada 1808-1809 yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda. Perang ini terjadi akibat penerapan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara.

Kedatangan Belanda di Minahasa pada mulanya disambut gembira oleh penduduk, karena mengharapkan bantuan dalam menghadapi peperangan dengan Spanyol dan ancaman gangguan keamanan perampok-perampok dari Minandanao Filipina. Alasannya sesungguhnya kedatangan Belanda di Minahasa adalah untuk kepentingan kekuasaan dalam memperoleh monopoli perdagangan dan usaha untuk menjalankan pemerintah/penjajahan..

Belanda mendirikan benteng di Pelabuhan Wenang/Manado yang diberi nama Nederlandsche Vasticheijt atau dikenal dengan nama Fort-Amsterdam. Benteng ini dijadikan pusat pemerintahan pertahanan dan perdagangan Belanda di Minahasa. Sejak adanya benteng tersebut, Belanda mulai menguasai perdagangan di Minahasa dan mengharuskan penjualan beras kepada pedagang-pedagang Belanda,

Cara pemaksaan ini sama sekali tidak disenangi oleh Walak Tondano, sehingga menimbulkan kebencian mereka terhadap Belanda.Sejak saat itu lahirlah kebencian orang Minahasa, khususnya Orang Tondano terhadap Belanda. Dikemukakan bahwa perang berlangsung selama beberapa kali.

A. Perang Tondano I
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. 

Mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina

VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Untuk melemahkan orang orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan sehingga menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. 

Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain: (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan. 

Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut dan akhirnya Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).

B. Perang Tondano II
Perang Tondano II terjadi ketika masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels memerlukan pasukan dalam jumlah besar dengan cara merekrut pasukan dari kalangan pribumi. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung (Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). 

Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda.

Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. 

Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda bisa menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua.
 Perang Tondano merupakan perang yang terjadi pada  Perlawanan Rakyat Tondano Terhadap Belanda
Pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. 

Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.