PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma.
Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/ Resi Durna dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya.
Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/ Resi Durna dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya.
Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata.
Arya Sucitra menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama; Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna.
Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada.
Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Durna, dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Durna dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa.
Di dalam perang besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa.
Ia gugur melawan Resi Drona terkena panah Cundamanik.
PRABU DRUPADA
Raden Sucitra berasal dari Atasangin (seberang) dan datang ke Cempalareja. Pada waktu itu raja Cempalareja, Prabu Gandabayu, mengadakan adu tenaga melawan Gandamana dengan perjanjian, bahwa barang siapa dapat mengalahkan Gandamana akan diganjar putri Prabu Gandabayu bernama Dewi Gandawati.
Raden Sucitra masuk gelanggang dan terjadilah perang tanding adu tenaga yang sangat ramai. Setelah Sucitra hampir dikalahkan oleh Gandamana, datanglah Pandu membantu dengan kesaktiannya, hingga kalahlah Gandamana.
Sucitra mendapat putri yang dijanjikan dan ia diangkat sebagai raja muda di Cempalareja dengan gelar Prabu Anom Drupada. Kemudian ia bertakhta sebagai raja di Cempalareja.
Raden Sucitra bermata kedondongan, berhidung dan bermulut sembada dan berkumis. Bersanggul gembel, berjamang dengan garuda membelakang, bersunting kembang kluwih, berkalung bulan sabit atau disebut juga berkalung putran (ksatria), bergelang, berpontoh dan memakai kain kerajaan lengkap.
Prabu Drupada (Sucitra) menetap di Tanah Jawa sebagai raja di Cempalareja. Agak tenang mukanya dan bercat hitam. Bergelung keling, berjamang dengan garuda membelakang dan bersunting kembang kluwih. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkalung ulur-ulur (kalung panjang). Berkain bokongan kerajaan lengkap. Ia dianggap sebagai orang Jawa asli dan berasal dari Tanah Jawa. Kemudian keturunan Drupada bercampur dengan keturunan Pendawa, Putri Drupada yang tertua, Dewi Drupadi dipermaisuri oleh Prabu Yudistira dan putri yang kedua Dewi Wara Srikandi, diperistri oleh Raden Arjuna.
Karena adanya hubungan kekeluargaan itu, maka Prabu Drupada digolongkan memihak pendawa. Dalam perang Bartayuda Sang Prabu beserta kerabatnya berkorban di pihak Pendawa.
Keturunan Prabu Drupada dan Yudistira bernama Raden Pancawala, ksatria pahlawan dalam perang Baratayuda. Putra yang seorang lagi putri dan bernama Dewi Wara Srikandi, tersebut di atas.
Dewi Srikandi kawin dengan Arjuna dan minta sebagai jujur diperbaikinya Taman Maerakaca yang telah rusak dalam semalaman selesai. Permintaan ini dapat dilaksanakan,
Prabu Drupada suatu ketika menerima pinangan Prabu Jungkungmardea, raja negara Paranggubarja, untuk putrinya, Dewi Wara Srikandi. Tergiur oleh kemuliaan raja ini, maka Drupada pun berhasrat untuk mengambil Jungkungmardea sebagai menantunya. Setelah Srikandi mengetahui tentang hasrat ramandanya itu, datanglah ia pada Arjuna untuk minta perhindungannya. Di dalam perang yang terjadi antara Arjuna dan Jungkungmardea, yang tersebut belakangan ini telah tewas oleh Arjuna.
Pembelaan Raden Arjuna bagi Dewi Srikandi sebenarnya tak lain daripada pembelaan karena sedumuk bathuk, suatu kiasan untuk perebutan wanita. Jaman itu (purwa) ksatria berebut putri dianggap sebagai perbuatan mulia yang bisa menambah harum nama ksatria. Perbuatan demikian tidak dianggap sebagai sesuatu yang hina, oleh karena dilakukan dengan mempertaruhkan jiwa.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982